Bersyukur Atas Nikmat Allah,Jalan Terindah Menuju Kehidupan yang Bermakna

Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh 

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang nikmat-Nya tak terhitung, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, sang teladan agung dalam bersyukur.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Seorang pria berbaju putih memegang al quran di kedua tangannya

Hidup adalah sebuah perjalanan dengan beragam medan. Terkadang kita melewati taman yang indah, di lain waktu kita harus menapaki jalan terjal dan berbatu. Dalam setiap kondisi, ada satu prinsip yang, jika kita pegang erat, akan mengubah seluruh perjalanan hidup kita menjadi lebih bermakna, lebih tenang, dan lebih indah: prinsip syukur.

Syukur bukan sekadar ucapan "Alhamdulillah" di lisan. Ia adalah sebuah keadaan hati, sebuah cara pandang, dan sebuah tindakan nyata. Ia adalah pengakuan tulus bahwa segala sesuatu, baik yang kita sukai maupun yang tidak, datang dari Allah dengan sejuta hikmah. Pada hari ini, marilah kita merenungkan betapa bersyukur atas nikmat Allah adalah cara terindah untuk menjalani kehidupan.

Hakikat Syukur yang Memadamkan Api Kecemasan

Salah satu kesalahpahaman terbesar tentang syukur adalah menganggapnya sebagai sebuah alat untuk menjadi kaya. Seolah-olah kita bersyukur hanya agar Allah menambah harta kita. Pemahaman ini menyempitkan makna syukur yang agung.

Memang syukur itu tak menjamin kehidupanmu menjadi lebih kaya, tapi syukur memberikan kamu ketenangan dan kecukupan di dalam menjalani kehidupan.

Lihatlah di sekitar kita. Betapa banyak orang yang bergelimang harta, namun jiwanya gelisah, hatinya tak tenang, dan hidupnya dipenuhi kecemasan akan kehilangan apa yang dimiliki. Sebaliknya, betapa banyak orang yang hidup sederhana, namun wajahnya selalu berseri, tidurnya nyenyak, dan hatinya dipenuhi rasa cukup. Inilah yang disebut qana'ah. Qana'ah adalah buah manis dari pohon syukur.

Mengapa demikian? Karena ingat, Islam bukan agama materialistis yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan atau rasa syukur. Islam adalah agama yang memadukan antara dunia dan akhirat, antara materi dan ruhani. Kebahagiaan sejati dalam Islam adalah ketika hati merasa tenang dan ridha dengan ketetapan Allah.

Allah berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'" (QS. Ibrahim: 14)

"Tambahan" yang Allah janjikan dalam ayat ini bersifat mutlak. Bisa berupa tambahan harta, tetapi yang lebih utama adalah tambahan iman, ketenangan, kesehatan, ilmu, kemudahan, dan kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan materi. Syukur melatih mata hati kita untuk melihat "tambahan" dalam bentuk yang lebih luas dan bermakna.

Keinginan yang Menjadi Jarak Pemisah dengan Kebahagiaan

Salah satu sumber penderitaan terbesar manusia adalah obsesi pada keinginan yang tak terpenuhi. Kita seringkali lupa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan terbatas, sementara keinginan tak bertepi.

Renungkan nasehat bijak ini: "Jarak antara seseorang dengan kebahagiaannya bergantung seberapa jauh atau banyak apa yang dia inginkan. Jika yang dia inginkan jauh, maka jarak antara ia dan kebahagiaannya akan lebih susah."

Bayangkan dua orang yang diberi segelas air oleh Allah. Orang pertama, yang baru saja kehausan di padang pasir, akan meminumnya dengan penuh rasa syukur. Air itu terasa begitu nikmat dan memuaskan. Orang kedua, yang sedang berada di ruangan ber-AC dengan lemari es penuh minuman, mungkin akan menerima air itu dengan acuh, atau bahkan menggerutu karena menginginkan minuman bersoda yang merekah. Airnya sama, responnya berbeda. Kebahagiaan orang pertama dekat, karena keinginannya sederhana: sekadar menghilangkan dahaga. Kebahagiaan orang kedua jauh, karena pikirannya dipenuhi oleh daftar keinginan yang rumit.

Inilah mengapa seringkali Allah memberikan seorang hamba kebutuhannya, bukan keinginannya. Kita membutuhkan makanan untuk hidup, tetapi kita menginginkan makanan mewah di restoran bintang lima. Allah memberikan kita rezeki untuk membeli makanan sederhana yang mengenyangkan, tetapi seringkali menunda atau tidak mengabulkan keinginan kita akan hidangan mewah. Mengapa?

Karena seringkali keinginan seorang hamba justru membinasakan dirinya sendiri. Keinginan untuk terus menumpuk harta bisa menjerumuskan pada sifat tamak dan lalai dari zikir kepada Allah. Keinginan untuk memuaskan nafsu birahi di luar jalur pernikahan akan menghancurkan harga diri dan keluarga. Keinginan untuk diakui dan dipuji bisa melahirkan riya' dan sum'ah.

Maka, ketika Allah menahan sebuah keinginan kita, yakinlah bahwa hal itu adalah bukti bahwa Allah sayang dan melindungi kita dari keinginan kita sendiri. Seorang anak kecil yang menginginkan pisau, akan dicegah oleh orang tuanya yang sayang. Si anak menangis, merasa tidak bahagia. Padahal, sang orang tua justru sedang menyelamatkannya dari bahaya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

يَحْرِصُ عَلَى مَا لاَ يَنْفَعُهُ وَيَأْمَنُ مَا يُضِرُّهُ وَإِنَّ مِمَّا يُخَافُ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ

"Manusia sangat bersemangat terhadap apa yang tidak bermanfaat baginya, dan merasa aman dari apa yang membahayakannya. Dan sesungguhnya di antara yang dikhawatirkan atas umat ini adalah setiap munafik yang pandai berbicara." (HR. Thabrani, dengan sanad yang hasan)

Sabda ini menggambarkan betapa seringnya kita keliru. Kita bersemangat mengejar keinginan yang justru tidak bermanfaat, dan merasa aman dari maksiat yang justru membahayakan iman kita. Syukur mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: "Apakah ini yang aku butuhkan, atau hanya yang aku inginkan?"

Dalil-Dalil Shahih tentang Kemuliaan Syukur

Agar keyakinan kita tentang syukur semakin kokoh, mari kita sandarkan hati dan pikiran kita pada dalil-dalil yang shahih dari Al-Qur'an dan Sunnah.

1. Syukur adalah Tujuan Penciptaan.

   Allah berfirman:

   وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

   > "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78)

   Nikmat indera dan akal adalah modal dasar kehidupan. Tujuannya satu: agar kita bersyukur.

2. Syukur adalah Sifat Hamba yang Beriman.

   Allah memuji hamba-Nya yang pandai bersyukur:

   إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

   > "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif (lurus). Dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (Ia) pandai bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus." (QS. An-Nahl: 120-121)

   Nabi Ibrahim 'alaihis salam dijadikan teladan karena, salah satunya, sifatnya yang pandai bersyukur.

3. Syukur adalah Ciri Ibadurrahman (Hamba-Hamba Allah yang Maha Pengasih).

   Allah menggambarkan hamba-hamba-Nya yang dicintai:

   وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا . أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا

   > "Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.' Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut di dalamnya dengan penghormatan dan salam." (QS. Al-Furqan: 74-75)

   Perhatikan, doa mereka adalah doa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Mereka tidak meminta kemewahan, tetapi meminta keluarga yang menjadi penyejuk hati. Dan balasan bagi mereka adalah surga, sebagai buah dari kesabaran dan syukur mereka.

Berhenti Memfonis, Mulailah Memahami Diri Sendiri

Hadirin yang budiman,

Ada satu penyakit hati yang sering menghalangi kita untuk bersyukur: sibuk mengurusi dan menilai nikmat orang lain, sambil lupa menilai diri sendiri. Terkadang kita sering memfonis orang lain hanya dengan melihat apa yang dia lakukan, tapi sulit mencoba untuk memahami diri sendiri.

Kita mudah sekali menuduh orang lain kufur nikmat karena tidak sesuai dengan standar kita. Kita melihat seseorang yang tidak shalat, lalu dengan mudah kita mencapnya sebagai ahli maksiat. Kita melihat tetangga yang hidup susah, lalu kita berprasangka bahwa mungkin dia tidak bersyukur. Ini adalah jebakan setan.

Allah mengingatkan kita:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)

Alih-alih sibuk memfonis orang lain, syukur mengajak kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri). Mari kita tanyakan pada hati kita sendiri:

  • Sudah sejauh mana aku mensyukuri nikmat penglihatan dengan tidak melihat yang haram?
  • Sudah sejauh mana aku mensyukuri nikmat pendengaran dengan tidak mendengar aib orang?
  • Sudah sejauh mana aku mensyukuri nikmat harta dengan menunaikan zakat dan sedekah?
  • Sudah sejauh mana aku bersyukur atas kesehatan dengan menggunakan tenaga untuk ibadah?

Ketika kita fokus pada kekurangan diri sendiri, maka kita akan menjadi terlalu sibuk untuk mengurusi kekurangan orang lain. Rasa syukur itu akan tumbuh, dan sikap menghakimi akan memudar.

Menjadikan Syukur sebagai Nafas Kehidupan

Maka, hadirin sekalian, marilah kita bertekad untuk menjadikan syukur sebagai nafas kehidupan kita. Di setiap helaan nafas, di setiap detak jantung, di setiap kedipan mata, kita ingat bahwa itu semua adalah nikmat Allah.

Bersyukurlah dalam segala kondisi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Seluruh urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka itu baik baginya." (HR. Muslim)

Inilah kunci hidup terindah: Bersyukur saat senang, bersabar saat susah. Dalam kedua keadaan tersebut, hasilnya adalah khoir (kebaikan).

Dengan syukur, hidup yang sederhana terasa cukup. Dengan syukur, cobaan yang berat terasa ringan. Dengan syukur, hubungan dengan sesama menjadi lebih harmonis karena kita berhenti membanding-bandingkan. Dan yang terpenting, dengan syukur, hubungan kita dengan Allah semakin dekat, karena kita mengakui dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, yang mampu melihat nikmat dalam setiap keadaan, dan yang menemukan ketenangan sejati dalam dekapan ridha-Nya.

وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Wssalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bersyukur Atas Nikmat Allah,Jalan Terindah Menuju Kehidupan yang Bermakna"

Posting Komentar